Tulisan 3
Koping
(Coping) Stress
Upaya
mengatasi atau mengelola stress dewasa ini dikenal dengan proses coping terhadap
stress. Lazarus dan Folkman (Bart Smet, 1994 : 143), menggambarkan coping
sebagai :
“
…..Suatu proses di mana individu mencoba untuk mengelola jarak yang ada antara
tuntutan-tuntutan (baik itu tuntutan yang berasal dari individu maupun tuntutan
asng berasal dari lingkungan) dengan sumber-sumber daya yang mereka gunakan
dalam menghadapi situasi stressful…”
Menurut
Bart Smet, coping mempunyai dua macam fungsi, yaitu : (1) Emotional-focused
coping dan (2) Problem-focused coping. Emotional-focused coping
dipergunakan untuk mengatur respon emosional terhadap stress. Pengaturan ini
dilakukan melalui perilaku individu seperti penggunaan minuman keras, bagaimana
meniadakan fakta-fakta yang tidak menyenangkan, dst. Sedangkan problem-focused
coping dilakukan dengan mepelajari keterampilan-keterampilan atau cara-cara
baru mengatsi stress. Menurut Bart Smet, individu akan cenderung menggunakan
cara ini bila dirinya yakin dapat merubah situasi, dan metoda ini sering
dipergunakan oleh orang dewasa.
Berbicara
mengenai upaya mengatasi Stres, Maramis (1980 : 71-72) berpendapat bahwa ada
bermacam-macam tindakan yang dapat dilakukan untuk itu, yang secara garis besar
dibedakan menjadi dua, yaitu (1) cara yang berorientasi pada tugas
atau task oriented dan (2) cara yang berorientasi pada pembelaan ego
atau ego defence mechanism.
Mengatasi
stres dengan cara berorientasi pada tugas berarti upaya mengatasi masalah
tersebut secara sadar, realistis, dan rasional. Menurut Maramis cara ini dapat
dilakukan dengan “serangan”, penarikan diri, dan kompromi. Sedangkan cara yang
berorientasi pada pembelaan ego dilakukan secara tidak sadar (bahwa itu
keliru), tidak realistis, dan tidak rasional. Cara kedua ini dapat dilakukan
dengan : fantasi, rasionalisasi, identifikasi, represi, regresi, proyeksi,
penyusunan reaksi (reaction formation), sublimasi, kompensasi, salah
pindah (displacement).
Beberapa aktivitas yang dapat dilakukan untuk meredakan
stress antara lain: relaks, cari sesuatu atau situasi yang dapat membuat
tertawa, ambil nafas dalam-dalam, sharing, melakukan aktivitas yang
tidak memerlukan tenaga, baik pikiran mapun fisik, yang berat, dst.
1.
Pengertian
dan jenis-jenis coping
Pengertian
Coping
Koping
adalah cara yang dilakukan individu dalam menyelesaikan masalah, menyesuaikan
diri dengan perubahan, serta respon terhadap situasi yang mengancam (Mustikasari,
2008, Keliat,1998).
Sedangkan
menurut Rasmun (2004), koping adalah respon individu terhadap situasi yang
mengancam dirinya baik fisik maupun psikologi.
Koping merupakan suatu proses pengolahan tuntutan eksternal dan internal yang dinilai sebagai beban atau melebihi sumber yang dimiliki seseorang. Dalam hal ini koping merupakan proses penyelesaian masalah menurut Lazarus & Folkman 1984 (dalam Hamid,1997).
Koping merupakan suatu proses pengolahan tuntutan eksternal dan internal yang dinilai sebagai beban atau melebihi sumber yang dimiliki seseorang. Dalam hal ini koping merupakan proses penyelesaian masalah menurut Lazarus & Folkman 1984 (dalam Hamid,1997).
Koping
adalah respon terhadap ketegangan eksternal yang berfungsi mencegah menghindari
tekanan emosional. (Pearlin & Schooler 1978 dalam Hamid, 1997).
Koping
merujuk pada pengatasan suatu situasi yang menimbulkan ancaman terhadap
individu sehingga mengatasi perasaan tidak nyaman seperti ansietas, rasa takut,
berduka dan bersedih (Millern,1983 dalam Hamid,1997).
Jenis-jenis
Coping
Menurut
Rasmun, ( 2004 ) dan Mustikasari, ( 2008 ) jenis koping ada dua yaitu:
1. Koping Psikologis
1. Koping Psikologis
Pada umumnya
gejala yang ditimbulkan akibat stres psikologi tergantung pada dua faktor
yaitu:
a. bagaimana persepsi atau
penerimaan individu terhadap stresor, artinya seberapa besar ancaman yang
dirasakan individu tersebut terhadap stressor yang diterimanya.
b. keefektifan strategi
koping yang digunakan oleh individu, artinya dalam menghadapi stresor jika
strategi yang digunakan efektif maka menghasilkan adaptasi yang baik dan
menjadi suatu pola baru dalam kehidupan, tetapi jika sebaliknya dapat mengakibatkan
gangguan kesehatan fisik maupun psikologis.
2.
Koping psikososial
Adalah reaksi psiko-sosial terhadap
adanya stimulus stres yang dihadapi oleh klien, menurut Stuart dan Sundeen
(1991), mengemukakan bahwa terdapat dua kategori koping yang dapat digunakan
untuk mengatasi stres dan kecemasan;
a. Reaksi yang berorientasi
pada tugas, cara ini digunakan untuk menyelesaikan masalah konflik dan memenuhi
kebutuhan dasar. Terdapat 3 macam reaksi yang berorientasi pada tugas yaitu;
1) Perilaku menyerang (Fight)
Individu menggunakan energinya untuk
melakukan perlawanan dalam rangka mempertahankan integritas pribadinya dan
perilaku yang ditunjukkan dapat berupa konstruktif maupun destruktif.
2) Perilaku Menarik
Diri (Withdrawl)
Individu menunjukan perilaku pengasingan
diri dari lingkungan dan orang lain, jadi secara fisik dan psikologik
meninggalkan lingkungan yang menjadi sumber stressor.
3) Kompromi
Kompromi merupakan tindakan konstruktif
yang dilakukan oleh individu untuk menyelesaikan masalah yang dilakukan dengan
bermusyawarah atau negoisasi.
b. Reaksi yang berorientasi pada Ego.
b. Reaksi yang berorientasi pada Ego.
Reaksi ini digunakan oleh individu dalam menghadapi
stres atau kecemasan sehingga dapat mengurangi kecemasan, tetapi jika
digunakan dalam waktu yang lama akan mengakibatkan gangguan orientasi realita
dengan memburuknya hubungan interpersonal dan produktifitas kerja. Adapun
mekanisme pertahanan diri yang bersumber dari ego yaitu;
1) Kompensasi
1) Kompensasi
Proses dimana seseorang memperbaiki penurunan citra
diri dengan secara tegas menonjolkan keistimewaan atau kelebihan yang
dimilikinya.
2) Penyangkalan (denial)
Menyatakan ketidak setujuan terhadap realitas dengan
berusaha mengatakan tidak terjadi apa-apa pada dirinya. Mekanisme pertahanan
ini adalah paling sederhana dan primitif.
3) Mengalihkan (displacement)
Pengalihan emosi yang semula ditujukan pada seseorang
atau benda lain yang biasanya netral atau lebih sedikit mengancam dirinya.
4) Disosiasi
Kehilangan kemampuan mengingat peristiwa yang terjadi
pada dirinya.
5) Identifikasi (identification)
5) Identifikasi (identification)
Proses dimana seseorang untuk menjadi seseorang yang
dia kagumi berupaya dengan mengambil atau menirukan pikiran-pikiran, perilaku
dan selera orang tersebut.
6) Intelektualisasi (intelectualization)
6) Intelektualisasi (intelectualization)
Penggunaan logika dan alasan yang berlebihan untuk
menghindari pengalaman yang tidak menyenangkan.
7) Introjeksi (introjection)
Perilaku dimana individu menyatukan nilai orang lain
atau kelompok kedalam dirinya.
8) Isolasi
Pemisahan unsur emosional dari suatu pikiran yang mengganggu
dapat bersifat sementara atau berjangka lama.
9) Proyeksi
Keinginan yang tidak dapat ditoleransi, mencurahkan emosi kepada orang lain karena kesalahan yang dilakukannya sendiri.
Keinginan yang tidak dapat ditoleransi, mencurahkan emosi kepada orang lain karena kesalahan yang dilakukannya sendiri.
10) Rasionalisasi
Mengemukakan penjelasan yang tampak logis dan dapat
diterima masyarakat untuk membenarkan kesalahannya.
11) Reaksi formasi
Pembentukan sikap dan pola perilaku yang bertentangan
dengan apa yang sebenarnya.
12) Regresi
Kemunduran akibat stres terhadap perilaku dan
merupakan ciri khas dari suatu taraf perkembangan yang lebih dini.
13) Represi
Menekan perasaan atau pengalaman yang menyakitkan
dari kesadaran yang cenderung memperkuat mekanisme ego lainnya.
14) Pemisahan (splitting)
Sikap mengelompokkan orang atau keadaan semuanya baik
atau semuanya buruk, kegagalan untuk memadukan nilai-nilai positif dan negatif
di dalam diri sendiri.
15) Sublimasi
Penerimaan suatu sasaran pengganti yang mulia artinya
di mata masyarakat untuk suatu dorongan yang mengalami halangan dalam
penyalurannya secara normal.
16) Supresi
Menekan perasaan yang menyakitkan ke alam tak sadar
sampai dia melupakan peristiwa yang menyakitkan itu.
17) Undoing
Tindakan atau perilaku atau komunikasi yang
menghapuskan sebagian dari tindakan atau perilaku atau komunikasi sebelumnya
merupakan mekanisme pertahanan primitif.
2.
Jenis-jenis
koping yang konstruktif dan positif (sehat)
Harmer
dan Ruyon (1984) menyebutkan jenis-jenis koping yang dianggap konstruktif:
yaitu:
1.
Penalaran (reasoning)
Yaitu penggunaan kemampuan kognitif untuk
mengeksplorasi bebagai macam alternatif pemecahan masalah dan kemudian memilih
salah satu alternate yang dianggap paling menguntungkan. Individu secara sadar
mengumpulkan berbagai informasi yang relevan berkaitan dengan persoalan yang
dihadapi, kemudian membuat alternatif-alternatif pemecahannya, kemudian memilih
alternative yang paling menguntungkan dimana resiko kerugiannya paling kecil
dan keuntungan yang diperoleh paling besar.
2.
Objektifitas
Yaitu
kemampuan untuk membedakan antara komponen-komponen emosional dan logis dalam
pemikiran, penalaran maupun tingkah laku. Kemampuan ini juga meliputi kemampuan
untuk membedakan antara pikiran-pikiran yang berhubungan dengan persoalan
dengan yang tidak berkaitan. Kemampuan untuk melakukan koping jenis objektifitas
mensyaratkan individu yang bersangkutan memilki kemampuan untuk mengelola
emosinya sehingga individu mampu memilih dan membuat keputusan yang tidak
semata didasari oleh pengaruh emosi.
3.
Konsentrasi
Yaitu kemampuan untuk memusatkan perhatian secara penuh
pada persoalan yang sedang dihadapi. Konsentrasi memungkinkan individu untuk
terhindar dari pikiran-pikiran yang mengganggu ketika berusaha untuk memecahkan
persoalan yang sedang dihadapi. Pada kenyataannya, justru banyak individu yang
tidak mampu berkonsetrasi ketika menghadappi tekanan. Perhatian mereka malah
terpecah-pecah dalam berbagai arus pemikiran yang justru membuat persoalan
menjadi seakin kabur dan tidak terarah.
4.
Penegasan diri (self assertion)
Individu berhadapan dengan konflik emosional yang
menjadi pemicu stress dengan cara mengekpresikan perasaan-perasaan dan
pikiran-pikirannya secara langsung tetapi dengan cara yang tidak memaksa atau
memanipulasi orang lain. Menjadi asertif tidak sama dengan tidakan agresi.
Sertif adalah menegaskan apa yang dirasakan, dipikirkan oleh individu yang
bersangkutan, namun dengan menghormati pemikiran dan perasaan orang lain.
Dewasa ini pelatihan-pelatihan dibidang asertifitas mulai banyak dilakukan
untuk memperbaiki relasi antar manusia.
5.
Pengamatan diri (self observation)
Pengamatan diri sejajar dengan introspreksi, yaitu
individu melakukan pengujian secara objektif proses-proses kesadaran sendiri
atau mengadakan pengamatan terhadap tingkah laku, motif, cirri, sifat sendiri,
dan seterusnya untuk mendapatkan pemahaman mengenai diri sendiri yang semakin
mendalam. Pengamatan diri mengandaikan individu memilki kemampuan untuk
melakukan transedensi, yaitu kemampuan untuk membuat jarak antara diri yang
diamati dengan diri yang mengamati. Perkembangan kognitif dan latihan-latihan
melakukan introspeksi yang dilakukan sejak remaja, akan mempertajam
keterampilan untuk melakukan pengamatan diri.
Sumber :
·
Maramis, W.F. (2000). Ilmu
Kedokteran Jiwa. Surabaya: Airlangga University Press.
· Smet, Bart. (1994). Psikologi Kesehatan.
Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.
· Hamid.
(1997). Analisa konsep koping suatu
pengantar. Jakarta: UI.
· Hurlock,
E.B. (1980). Psikologi perkembangan suatu
pendekatan sepanjang rentang kehidupan
(Edisi ke-5). Indonesia: Erlangga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar